Pro kontra larangan
tayangan bermuatan LGBT di media televisi semakin tajam, ketika Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) bersikukuh tetap mempertahankan keputusaannya
menghadang LGBT dari media publik. Menurut tafsir KPI, UU Penyiaran bersifat
mandatori bahwa isi siaran wajib mengandung informasi,
Sejatinya, tafsir
KPI atas larangan muatan LGBT sebagai bentuk pengejawantahan regulasi penyiaran
tidaklah tunggal. Dari sisi norma, cukup banyak hukum positif yang tidak
mengakomodasi posisi LGBT. Undang- undang Perkawinan UU No. 1 Tahun 1974 tidak
mengenal terminologi "kawin sejenis".
Kemudian,
Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan tidak
mengenal LGBT. Undang- undang No 4 Tahun 2008 tentang Pornografi memasukkan
istilah "persenggamaan menyimpang" sebagai salah satu unsur
pornografi. Dalam penjelasan pengertian yang termasuk "persenggamaan
menyimpang" adalah "...oral seks, anal seks, lesbian &
homoseksual".
Di samping itu,
Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang adopsi, secara tegas menetapkan
bahwa orang tua yang mengadopsi tidak boleh berupa pasangan homoseksual. Bukan
hanya itu, dalam Peraturan Menteri Sosial tahun 2012 diatur bahwa orang yang
disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial, di antaranya mereka
yang karena perilaku seksualnya menjadi terhalang dalam kehidupan sosial,
seperti; waria, pria gay & wanita lesbian.
Dari sisi
keterterimaan sosial, tampaknya keterterimaan LGBT dalam konteks Indonesia
sangat rendah. Laporan Global Attitudes Project oleh Pew Research mengenai
sikap masyarakat Indonesia terhadap homoseksualitas menunjukkan adanya
penolakan terhadap homoseksualitas mencapai 93%, sementara hanya ada 3% yang
bersikap menerima. Hasil riset tersebut semakin meneguhkan bahwa keterterimaan
LGBT dalam konteks Indonesia sangat kecil. Minimnya penerimaan LGBT tersebut
bukan hanya diperngaruhi oleh tafsir keagamaan, namun juga mazhab norma bangsa
Indonesia yang tidak nyaman terhadap keberaaan LGBT.
LGBT, Nature or
Nurture?
Menjadi LGBT, bukan
opsi, bukan hak & bukan pula takdir, tetapi karena proses sosial yang
dipilihnya, sehingga mempengaruhi terbentuknya kepribadian cenderung atau
bahkan sudah nyaman sebagai LGBT. Neil N Whitehead ahli biokimia meneliti
"gay gen" selama empat puluh tahun mengkritisi pendapat mereka yang
menerapkan determinasi biologis bagi orientasi seksual seseorang. Hasil
penelitiannya pertama kali diterbitkan 1999, lalu direvisi dengan penambahan
bukti kemudian terbit lagi pada tahun 2013 dengan judul "My Genes Made Me
Do It! Homosexuality and the Scientific Evidence".
Bukti terkuat
menurut Whitehead adalah penelitian Twin studies. Secara sederhana twin studies
adalah studi yang dilakukan terhadap orang-orang homoseksual yang memiliki
saudara kembar. Apabila homoseksual adalah pengaruh gen, maka dua orang kembar
seharusnya sama-sama berorientasi homoseksual sebab secara gen mereka identik.
Pendek kata orang yang memiliki kecenderungan homoseksualitas bukan karena
takdir Tuhan, tetapi karena ada faktor eksternal yang turut membentuk &
mengkondisikan, sehingga seseorang nyaman menjadi LGBT.
Maraknya aktivitas
serta kampanye yang mendukung gerakan Lesbian, Gay, Biseksual, &
Transgender (LGBT), baik langsung ataupun tidak, memiliki efek negatif bagi masyarakat
& terutama usia anak. Apalagi kampanye LGBT dilakukan melalui saluran
informasi & media sosial yang sasaran penggunanya usia anak sekolah &
remaja.
Tampaknya, telah
banyak anak & usia remaja menjadi korban. Data yang dihimpun oleh Kementerian
Pendidikan & Kebudayaan tahun 2016, tampaknya LGBT di dunia anak &
remaja cukup serius. Terdapat 3.000 pelajar di Kota Batam diketahui sebagai
penyuka sejenis.
Survei AUSAID,
sebanyak 700 atau 22% anak usia 16-20 tahun di Tanjungpinang & Bintan
berperilaku menyukai sesama jenis. Peningkatan Penderita HIV homoseksual dari
6% (2008) menjadi 8% (2010) & terus menjadi 12% (2014). Selanjutnya,
terdapat komunitas Gay SD, Gay SMP, Gay SMA di twitter dengan jumlah pengikut
ribuan. Pada saat yang sama, terdapat 119 Organisasi yang concern terhadap isu
LGBT di Indonesia & jumlahnya terus meningkat (UNDP, 2015).
Menuju "Civic
Intelligence"
Kampanye LGBT yang
semakin masif & sistematis telah mengkoyak kepribadian & sistem nilai
bangsa. Tak sedikit orangtua & terutama Ibu takut, jikalau anaknya suatu
nanti terpengaruh menjadi LGBT. Masifnya kampanye LGBT, masyarakat & bangsa
tak boleh permisif, reaktif apalagi melakukan kekerasan, namun diperlukan apa
yang disebut "civic intelligence".
Dalam rumusan
Massachusetts Institute of Technology Encyclopedia of Cognitive Sciences,
inteligensi dirumuskan sebagai "kemampuan seseorang menyesuaikan diri,
memilih & mengembangkan lingkungannya". Inteligensi berkaitan dengan
tiga kemampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya yaitu kemampuan
adaptasi, konstruktif & selektif. Dengan demikian, civic intelligence
adalah kemampuan masyarakat beradaptasi dengan peradapan, berinteraksi, namun
tetap selektif.
Menurut Carl
Hovland, teori perubahan sikap (attitude change theory) seseorang sejatinya
memiliki kemampuan tiga proses selektif yaitu:
Pertama, penerimaan
informasi selektif yaitu proses dimana orang hanya akan menerima informasi yang
sesuai dengan sikap atau kepercayaan yang sudah dimilikinya. Jika nilai sosial,
komunitas & masyarakat di lingkungannya memandang bahwa perilaku
homoseksual sebagai perilaku yang abnormal, maka propaganda & promosi
melalui apapun tidak akan terpengaruh.
Dengan demikian,
penguatan standar nilai kepatutan harus diperkuat agar memiliki benteng
selektifitas. Anak merupakan kelompok rentan yang mudah meniru &
terpengaruh segala bentuk propaganda LGBT, apalagi dewasa ini promosi LGBT
semakin kreatif, atraktif & variatif.
Kedua, ingatan
selektif; orang akan melupakan banyak hal yang mereka pelajari, tapi cenderung
mengingat informasi yang mendukung pandangan & keyakinan mereka.
Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan pandangan nilai yang dianutnya, maka
dengan sendirinya akan mudah dilupakan. Bagaimana posisi LGBT?
Jika keyakinan
seseorang tetap bahwa LGBT sebagai natural, maka tentu akan selalu diingat &
dijadikan standar, namun jika sebaliknya bahwa LGBT dipandang & diyakini
sebagai abnormal maka, segala bentuk rayuan & promosi agar menjadi pelaku
atau minimal simpati LGBT, tentu bisa dinafikan atau bahkan dilupakan dari
proses hidup yang mereka tempuh.
Ketiga, persepsi
selektif; persepsi selektif adalah menginterpretasikan secara selektif apa yang
dilihat seseorang berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, & sikap
yang dimiliki. Dengan demikian, yang turut membentuk terhadap persepsi selektif
adalah latar belakang & pengalaman seseorang.
Jika seseorang
memiliki pengalaman hidup nyaman dengan seseorang berkarakter homoseksual
sangat mungkin, secara perlahan akan menaruh minat menjadi homo atau setidaknya
bersimpati dengan orang berperilaku homo.
Melihat Carl
Hovland, teori perubahan sikap tersebut sejatinya seseorang dalam kehidupan
sosial tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai, baik sistem nilai yang
berhubungan dengan benar & salah yang disebut dengan logika, sistem nilai
yang berhubungan dengan baik & buruk atau pantas & tidak pantas yang
disebut dengan etika atau sistem nilai yang berhubungan dengan indah &
tidak indah yang disebut dengan estetika.
Semoga masyarakat
Indonesia tetap merawat sistem nilai yang bersandarkan pada keadaban,
kepantasan sosial, serta sistem nilai universal agama sebagai filter &
pengikat untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat. Semoga….!
*) Susanto adalah
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) (nwk/nwk)
0 komentar:
Posting Komentar
hanya komentar yang baik, menyejukkan, mencerdaskan, menginspirasi