Bangkrut, bukan seseorang yang tidak punya harta. Akan tetapi, ketika di akhirat pahalanya habis, karena sibuk mencaci. Maka, sebaiknya berhenti mencaci, seperti dalam hadits berikut
Rasulullah SAW bersabda:
"Takutlah kepada Allah terhadap para sahabatku, takutlah kepada Allah terhadap para sahabatku, janganlah kalian menjadikan mereka sebagai sasaran (cacian & cercaan) sepeninggalku, barangsiapa mencintai mereka maka dengan kecintaanku aku pun mencintai mereka (yang mencintai sahabat), & barangsiapa membenci mereka,
maka dengan kebencianku aku pun membenci mereka (orang yang membenci para sahabat), & barangsiapaa menyakiti mereka berarti dia telah menyakitiku & barangsiapa yang menyakitiku berarti dia telah menyakiti Allah Tabaraka Wata'ala, & barangsiapa menyakiti Allah, maka hampir saja Allah menyiksanya."
[HR Imam Ahmad #19641-haditsNet]
Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat:
"Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?"
Para sahabat menjawab;
'Menurut kami, orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uang & harta kekayaan.'
Rasulullah SAW bersabda:
'Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, & zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, & makan harta orang lain serta membunuh & menyakiti orang lain.
Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi.
Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.' [HR Imam Muslim #4678 haditsNet]
Kisah teladan sahabat nabi, penting untuk disampaikan dengan cara yang benar. Agar, dapat menjadi pelajaran bagi generasi penerus. Generasi jaman nabi, adalah generasi emas. Generasi terbaik menurut Rasulullah.
Sudah sepantasnya, kita senantiasa membaca keagungan perjuangan para sahabat, ketika mendampingi nabi memperjuangkan Islam.
Berikut ini, kisah Umar bin Khattab.
Selamat membaca.
Menyebut nama Umar bin al-Khattab, nalar
kita begitu reflek membayangkan sosok pemimpin yang tegas, adil, & karismatik. Ditambah perawakan Umar yang tinggi-besar & bersuara lantang.
Menjadikan figurnya seolah-olah pemimpin di kisah-kisah dongeng yang begitu
ideal. Ya, Umar memang seorang yang adil. Dia juga tegas. Dan dia berhasil
memakmurkan rakyatnya.
Aahh.. kiranya Umar hadir di zaman sekarang.. seloroh
sebagian orang sebagai keluh keputus-asaan akan sosok pemimpin idaman.
Kita bersyukur banyak kaum muslimin mencintai sosok Umar.
Mereka mencintai sahabat Nabi yang mulia. Nomor dua kedudukannya jika dirunut bersama Abu Bakar r.a.
Anas bin Malik r.a pernah berkata,
“Aku mencintai Nabi, mencintai Abu Bakar, & mencintai Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka (di hari kiamat)
lantaran kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti
amalan mereka.” (HR. Bukhari, No. 3688).
Selain dikenal tegas, Umar juga memiliki sifat lembut & kasih sayang kepada rakyatnya.
Umar Takut Menelantarkan Rakyatnya
Muawiyah bin Hudaij r.a datang menemui Umar
setelah penaklukkan Iskandariyah. Lalu ia menderumkan hewan tunggangannya.
Kemudian keluarlah seorang budak wanita. Budak itu melihat penat Umar setelah
bersafar.
Ia mengajaknya masuk. Menghidangkan roti, zaitun, & kurma untuk
Umar. Umar pun menyantap hidangan tersebut. Kemudian berkata kepada Muawiyah,
“Wahai Muawiyah, apa yang engkau katakan tadi ketika engkau mampir di masjid?”
“Aku katakan bahwa Amirul Mukminin sedang tidur siang”, jawab Muawiyah.
Umar
berkata,
“Buruk sekali apa yang engkau ucapkan & alangkah jeleknya apa yang
engkau sangkakan. Kalau aku tidur di siang hari, maka aku menelantarkan
rakyatku.
Dan jika aku tidur di malam hari, aku menyia-nyiakan diriku sendiri
(tidak shalat malam). Bagaimana bisa tertidur pada dua keadaan ini wahai
Muawiyah?”1.
Mungkin Muawiyah bin Hudaij bermaksud kasihan kepada Umar.
Ia ingin Umar beristirahat karena capek sehabis bersafar. Rakyat pun akan
memaklumi keadaan itu & juga kasihan kepada pemimpinnya, sehingga mereka rela
jika Umar beristirahat.
Tetapi Umar sendiri malah khawatir kalau hal itu
termasuk menghalangi rakyatnya untuk mengadukan keinginannya mereka kepadanya.
Umar berkata,
“Jika ada seekor onta mati karena disia-siakan
tidak terurus. Aku takut Allah memintai pertangung-jawaban kepadaku karena hal
itu2.
Karena onta tersebut berada di wilayah kekuasaannya, Umar
yakin ia bertanggung jawab atas keberlangsungan hidupnya. Ketika onta itu mati
sia-sia; karena kelaparan, atau tertabrak kendaraan, atau terjerembab di
jalanan karena fasilitas yang buruk, Umar khawatir Allah akan memintai
pertanggung-jawaban kepadanya nanti di hari kiamat.
Subhanallah… kalau rasa
tanggung jawab kepada hewan pun sampai demikian, bagaimana kiranya kepada
manusia? Semoga Allah meridhai & senantiasa merahmati Anda wahai Amirul
Mukminin…
Pada saat haji terakhir yang ia tunaikan dalam hayatnya, Umar
r.a duduk bersimpuh kemudian membentangkan rida’nya. Ia
mengangkat tinggi kedua tangannya ke arah langit. Ia berucap,
“Ya Allah..
sungguh usiaku telah menua & ragaku kian melemah, sementara rakyaku semakin
banyak (karena wilayah Islam meluas pen.), cabutlah nyawaku dalam keadaan tidak
disia-siakan.”3
Perhatian Terhadap Rakyat
Perhatian Umar terhadap rakyatnya benar-benar membuat kita
kagum & namanya pun kian mengharum, mulia bagi mereka pembaca kisah
kepemimpinannya.
Doa-doa rahmat & ridha untuknya begitu deras mengalir.
Siang-malam ia pantau keadaan rakyatnya. Ia benar-benar sadar kepemimpinan itu
adalah melayani. Kepemimpinan bukan untuk menaikkan status sosial, menumpuk
harta, yang akan menghasilkan kehinaan di akhirat semata.
Orang hari ini kenal belusukan sebagai ciri pimpinan peduli,
Umar telah melakukannya sejak dulu dengan ketulusan hati. Ia duduk bersama
rakyatnya, mengintipi keadaan mereka, & menanyai hajat kebutuhan.
Kepada yang
kecil atau yang besar. Kepada yang kaya atau yang miskin. Ia tidak pernah
memberikan batas kepada mereka semua.
Abdullah bin Abbas r.a mengatakan,
“Setiap
kali shalat, Umar senantiasa duduk bersama rakyatnya. Siapa yang mengadukan
suatu keperluan, maka ia segera meneliti keadaannya.
Ia terbiasa duduk sehabis
shalat subuh hingga matahari mulai naik, melihat keperluan rakyatnya. Setelah
itu baru ia kembali ke rumah”.4
Sebagian rakyat ada yang merasa enggan mengadukan
permasalahannya. Mereka segan karena betapa wibawanya Umar.
Kemudian beberapa
orang sahabat; Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah,
az-Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, & Saad bin Abi Waqqash ingin
memberi tahu Umar tentang hal ini. Dan majulah Abdurrahman bin Auf yang paling
berani untuk membuka pembicaraan dengan Umar.
Serombongan sahabat ini berkata,
“Bagaimana jika engkau
(Abdurrahman) berbicara kepada Amirul Mukminin. Karena ada orang yang ingin
dipenuhi kebutuhannya, namun segan untuk berbicara dengannya karena wibawanya.
Sehingga ia pun pulang menahan keperluannya."
Abdurrahman pun menemui Umar & berbicara kepadanya.
“Amirul Mukminin, bersikaplah lemah lebut kepada orang-orang. Karena ada orang
yang hendak datang menemuimu, namun suara mereka untuk memberi tahu kebutuhan,
tercekat oleh wibawamu. Mereka pun pulang & tidak berani bicara”, kata
Abdurrahman.
Umar r.a menanggapi,
“Wahai Abdurrahaman, aku
bertanya kepadamu atas nama Allah, apakah Ali, Utsman, Thalhah, az-Zubair, & Saad yang memintamu untuk menyampaikan hal ini?”
“Allahumma na’am”, jawab Abdurrahman.
“Wahai Abdurrahman, demi Allah, aku telah bersikap lemah
lembut terhadap mereka sampai aku takut kepada Allah kalau berlebihan dalam hal
ini.
Aku juga bersikap tegas kepada mereka, sampai aku takut kepada Allah
berlebihan dalam ketegasan. Lalu, bagaimana jalan keluarnya?” tanya Umar.
Abdurrahman pun menangis. Lalu mengusapkan rida’nya menghapus titik air mata.
Ia berucap,
“Lancang sekali mereka. Lancang sekali mereka”.5
Adapun bagi masyarakat yang tinggal jauh dari Kota Madinah;
seperti penduduk Irak, Syam, dll. Umar sering bertanya tentang keadaan mereka,
kemudian memenuhi kebutuhan mereka. Umar mengirim utusannya untuk meneliti
keadaan orang-orang di luar Madinah.
Terkadang, Umar juga mengadakan kunjungan langsung. Melihat
sendiri keadaan rakyat di bawah kepengurusan gubernurnya. Umar memenuhi
kebutuhan mereka dengan sungguh-sungguh.
Sampai-sampai ia berkeinginan
janda-janda yang tidak memiliki orang yang menanggung merasa cukup dengan
bantuannya sehingga tidak butuh kepada laki-laki lainnya.6
Penutup
Inilah seorang pemimpin yang memerankan kepemimpinan dalam
arti sebenarnya. Ia memberikan teladan dalam perkataan & perbuatan. Seorang
yang shaleh secara pribadi & cakap dalam kepemimpinan.
Sesuatu yang perlu kita sadari, pemimpin adalah kader dari
masyarakatnya. Umar bin al-Khattab adalah kader dari masyarakatnya. Dan setiap
masyarakat akan mengkader pemimpin mereka sendiri.
Masyarakat yang baik akan
melahirkan kader yang baik, sehingga sekumpulan kader-kader yang baik ini akan
menunjuk yang terbaik di antara mereka untuk memimpin mereka.
Dan masyarakat
yang jelek akan melahirkan kader yang serba kekurangan. Lalu mereka menunjuk
pemimpin berdasarkan hawa nafsu & kepentingan.
Keterngan:
1. Az-Zuhd oleh Ahmad bin Hanbal, Hal: 152. Madar atsar ini
adalah Ali Musa bin Ulya al-Lakhmi. Adz-Dzahabi mengomentarai bahwa dia orang
yang tsabit dan shaleh (al-Kasysyaf, 2: 306). Menurut Ibnu Hajar shaduq
walaupun mungkin keliru dan rijal yang lain pada riwayat Ahmad tsqat. Atsar ini
hasan.
2. Ath-Thabaqat oleh Ibnu Saad, 3: 305. Mushannaf oleh Ibnu
Abi Syaibah, 7: 99. Tarikh ath-Thabari, 2: 566. Tarikh Dimasyq oleh Ibnu
Asakir, hal: 304. Atsar ini hasan li ghairihi karena banyak jalan yang
menguatkannya.
3. Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa 21: 2, dll.
4. Ath-Thabaqat oleh Ibnu Saad, 3: 288. Tarikh ath-Thabari,
2: 565-566. Atsar ini hasan.
5. Ath-Thabaqat oleh Ibnu Saad, 3: 287. Tarikh ath-Thabari,
2: 568. Dll. Atsar ini hasan.
6. Adabul Mufrad oleh Bukhari, Hal: 353. Dll. [KisahMuslimCom]
0 komentar:
Posting Komentar
hanya komentar yang baik, menyejukkan, mencerdaskan, menginspirasi