Minggu, 04 Maret 2012

MIRANDA RISANG AYU: Buku Wawasan Islam menghantar Hidayah

[Journey to Islam ; 27 Feb 2006]


Miranda Risang Ayu. Lahir 10 Agustus 1968. anak pertama 3 bersaudara. Orang tua Kristen Protestan fanatik. Mereka penganut fanatik, saya sejak kecil dididik Kristen Protestan. 

Didikan sejak kecil itu, sedikit-banyak membuat kritis terhadap berbagai hal. Untuk yang tidak saya ketahui, tak segan bertanya pada ibu. Orang tua sibuk, lebih dekat nenek. Nenek mendidik keras, tetapi memanjakan. Termasuk agama.

Menjelang remaja, ketika di kelas 2 SMA Taruna Bakti, mulai ragu ajaran ini. Meragukan & bingung konsep Trinitas yang terdiri & 3 oknum itu. Sering bertanya dalam hati, mengapa bila berdoa harus melalui Yesus Kristus, tidak langsung Tuhan saja? Untuk memperoleh jawaban itu, sering dialog dengan pendeta. Jawaban pendeta tidak membuat paham & mengerti. Saya tidak puas.

Jawaban mereka, menurut saya, mengada-ada. Tidak sesuai logika. Di tengah kegelisahan batin itu, saya terus mencari titik terang dengan mempelajari ajaran-ajaran Lao-Tze tentang Taoisme. 

Tujuannya, menemukan Tuhan. Namun, gagal. Malah menemukan banyak kelemahan ajaran Cina kuno itu. Dalam masa pencarian itu, suatu siang menjelang Ramadhan 1985, saya ke perpustakaan sekolah. Saat menikmati bacaan, saya tertarik dengan buku yang sedang dipegang teman. Setelah berbasa basi, saya mengetahui, buku yang dipegangnya itu adalah buku agama Islam. Wawasan Islam, karya Endang Saefuddin Anshari.

Karena tertarik buku wajib pelajaran agama Islam itu, saya berusaha meminjamnya & teman saya itu. 

“Tapi, ini buku agama Islam,” sahut teman saya itu. Kata “tapi” itu menyiratkan kaget. Lalu, saya jawab, “lya, saya tahu. Tapi saya ingin baca.” Akhirnya meminjamkan.

Beberapa waktu buku itu banyak tergeletak di meja kamar, tanpa sempat saya sentuh. Sampai teguran nenek bernada curiga menyadarkan. Buku itu cukup riskan untuk kedamaian di rumah.

“Apa-apaan kamu, baca buku seperti itu?” sergah nenek tajam. 

“Hati-hati, nanti kamu masuk Islam...,” lanjutnya. 

Ketajaman pertanyaan nenek itu dapat saya mengerti. Ketika itu, saya hanya tersenyum & saya tegaskan saya cuma ingin tahu. Saya sendiri telah mendengar & berusaha menghayati trauma keluarga. Orang-orang Islam yang begitu cepat benar sendiri & gampang mengkafirkan orang lain.



Masuk Islam. Sehabis teguran itu, buku Wawasan Islam justru membuat penasaran. Segera saya tinggalkan buku-buku pelajaran sekolah & buka buku itu lembar demi lembar. 

Sampai pengertian “ketauhidan”, tertegun. Saya merasa belum pernah menemukan kesimpulan yang begitu jernih tentang Tuhan. Tuhan itu Maha Esa. Ia sama sekali otonom. Ia tidak beranak & diperanakkan.

Hari itu pertengahan Ramadhan, menjelang beduk magrib, saat kaum muslimin menanti berbuka puasa, hati saya mulai terharu. Ada perasaan lain yang hadir dalam lubuk hati saya. Ini pertama kalinya azan magrib menyentuh kalbu & pendengaran saya dengan perasaan lain. 


Keharuan terus menyelimuti hati. Sampai jauh malam, saya mulai menimbang-nimbang kemungkinan masuk Islam. Malam itu saya tidak dapat tidur. Namun, niat itu kembali terusik oleh kenyataan, citra Islam yang sampai kepada saya adalah citra yang sama sekali tidak menarik simpati.

Namun, gambaran itu, bagi saya sangat bergantung pada prasangka baik & buruk. Saya berprasangka baik saja tethadap Islam. Justru dalam Islam, saya menemukan Allah itu Esa & ada di mana-mana. 


Kita berdoa langsung kepada-Nya. Tanpa perantara. Dalam agama yang saya anut, setiap berdoa harus membayangkan wajah Yesus. Menurut Islam, dalam buku itu, Tuhan itu tidak bisa dijangkau Zat-Nya. Saya benar-benar yakin, Allah telah menunjukkan jalan. Saya tidak menunda-munda lagi. Ingin segera menjadi muslimah.

Esok harinya dengan tergesa-gesa menuju tempat pertemuan, di kawasan Sangkuriang. Dengan sikap santai, saya ungkapkan keinginan itu kepada teman-teman. Mereka kaget & langsung menanyakan apakah saya sudah pikir pikir. Saya jawab, Ya dengan yakin. Akhirya, di depan mereka, untuk pertama kalinya saya mengucapkan ikrar 2 kalimat syahadat.

Usai syahadat, mereka merangkul. Air mata berurai dari pipi-pipi kami. Esoknya, diantar mereka, saya dibawa menghadap Pak Muhammad Sadali, dituntun kembali bersyahadat. Pada 9 Juni 1985 atau 20 Ramadhan 1405 H, saya kembali mengucapkan syahadat di Masjid Salman ITB, Bandung. 


Keputusan ini langsung disambut kemarahan keluarga. Terutama ayah. Keluarga kurang setuju pindah ke Islam. Keluarga memutuskan tidak menerima saya lagi. Saya keluar rumah & kos.

Allhamdulillah Allah selalu melindungi saya berbagai kemudahan. Dari hasil menulis di berbagai media massa, saya dapat menyelesaikan sekolah & melanjutkan studi ke Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung. 


Setelah beberapa lama menganut Islam, keluarga kembali membujuk kembali ke rumah. Mereka mendesak saya untuk melakukan sidi (pembaptisan kembali seorang Kristen yang telah beranjak dewasa atas kemauan sendiri). Ajakan itu saya tolak.

Tahun 1989, saya mulai mengenakan busana muslimah (jilbab). Dalam beragama Islam ini, saya banyak menemukan pengalaman rohani. Dalam pengalaman rohani ini saya merasakan nikmatnya beragama Islam. Kemudian, saya menikah & alhamdulillah kini telah dikarunia anak. Saya berjanji mendidik anak-anak dengan pola pendidikan agama.

Selain aktif dalam kegiatan keagamaan, saya juga aktif dalam bidang kesenian, yang telah saya tekuni sejak kecil. Kini, saya aktif dalam grup sanggar seni yang bemuansa Islami yang bernama BarzaK. Untuk menambah wawasan agama, saya dipercaya oleh sebuab televisi swasta, menjadi pembawa acara, bertajuk Tasawuf.

1 komentar:

hanya komentar yang baik, menyejukkan, mencerdaskan, menginspirasi