Minggu, 04 Maret 2012

LUKMINTO; Bos Sritex. Hidayah Mimpi Sholat




Sritex, Solo.
Lahir 1 Juni 1946 di Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur. Bertetangga dengan keluarga H. Harmoko, Ketua DPR/MPR RI. Beliau sahabat sejak kecil. Meskipun jalan hidup berbeda, namun tak membuat jarak antara kami. Akrab bila bertemu. Saya terjun ke bisnis & industri tekstil. 

Peta Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur
 
Kisah menjadi industriawan & pengusaha tekstil sukses, dimulai ketika menjadi pedagang tekstil kecil-kecilan di Pasar Klewer Solo. Waktu itu saya wira-wiri menjual tekstil eceran.


Meningkat mempunyai kios tetap.

Rupanya, hoki berbisnis tekstil. Lambat laun bisa membuka pabrik sederhana, di Jl. Kyai Maja di tepi Bengawan Solo. Dengan pabrik tekstil sendiri, bisnis maju pesat. Bersama kakak kandung, mendirikan pabrik besar, 65 hektar dengan investasi 300 miliar rupiah. PT Sri Rejeki Isman (Sritex), di Desa Jetis, Sukoharjo. Karyawan 20.000.

Peta Desa Jetis, Sukoharjo, Jawa Tengah
 3 Maret 1992, pabrik diresmikan bapak Soeharto, bersama 275 pabrik lainnya di Surakarta, Jawa Tengah. Bukan main bangganya. Cita-cita menjadi orang kaya tercapai. Kini, orang tak lagi menghina. Saya bukan lagi Lukminto miskin. Hari ini, Lukminto kaya raya, & menyandang "Raja Tekstil."

Tapi, benarkah bahagia? Lahiriah memang. Saya tak kurang apapun. Rumah mewah, harta berlimpah, pabrik modern ribuan karyawan, isteri cantik setia. Apa lagi? 


Gelisah, Selalu Materi

Umumnya WNI keturunan, penganut Budha Konghucu. Budha bercampur tradisi & pandangan hidup leluhur. Karena dari keluarga miskin, pendidikan agama kurang. Sibuk mencari uang. Sejak kecil diajar dagang. 


Masih ingat, pulang sekolah, saya & kakak langsung dagang makanan kecil. Kacang goreng, permen, rokok, & lain-lain. Orang tua menekankan agar kaya. Miskin tidak enak. Jadi cemoohan.

Begitu pesannya. Kami pun dididik, tidak boleh puas terhadap perolehan yang didapat. Kalau hari ini sama dengan kemarin, rugi. Karena dicambuk seperti itu, saya tumbuh menjadi mandiri & ulet. 


Saya bercita-cita muluk,  lazimnya teman-teman. Pegawai negeri, ABRI, polisi, pilot, dokter, & lain-lain. Cukup jadi orang kaya.

Mengapa begitu? Tahu diri. Sebagai WNI keturunan, nasib kami ditentukan usaha & keuletan sendiri. Saya sadar, posisi kami "kurang beruntung" dibandingkan lainnya. Kami tak bisa jadi ABRI, atau PNS. 


Padahal lahir di negeri ini, mencintai negeri ini, sama seperti suku-suku lainnya di Nusantara ini. Itulah kenyataan.

Pegangan


Tak ada jalan lain bertahan hidup, selain konsentrasi seluruh daya & kemampuan berdagang. Itulah barangkali, faktor yang membuat ulet dagang. Resikonya, agama kurang. Bahkan, nyaris tak punya pegangan. 

Di rumah, Budha Konghucu, di sekolah Kristen. Agama, buat saya, hanya tempelan belaka. Budha, tak pernah ke wihara. Kristen, tak pernah kebaktian.

Karena, terlalu dikejar obsesi jadi orang kaya, saya lupa segalanya. Saya tak tahu halal & haram. Semua cara ditempuh, memperoleh kekayaan. 


Termasuk ke Gunung Kawi. Tempat keramat, orang datang minta pesugihan (kekayaan). Melalui petunjuk kuncen, saya nglakoni (menjalankan) persyaratan, yang tak bisa saya ceritakan di sini.

Alhasil, dalam tempo singkat usaha dagang maju pesat. Semula dagang tekstil eceran, meningkat membuka kios, lalu pabrik tekstil sederhana, akhirnya pabrik tekstil raksasa. PT Sritex itu. 


Kendati sudah Raja Tekstil, batin kosong siraman rohani. Saya tak pernah merasakan kebahagiaan & kedamaian, sebagaimana sering saya saksikan kehidupan kaum muslimin.

Sebagian besar karyawan, Islam. Sering saya saksikan, di sela-sela istirahat makan siang, mereka sembahyang (belakang saya tahu, itu shalat). 


Meskipun di pabrik ada tempat khusus shalat (mushalla atau masjid), mereka tetap shalat di beberapa tempat, seperti di gudang & di lorong-lorong pabrik.

Sering saya amati, usai shalat, wajah mereka tampak cerah. Seakan terpancar jiwa yang tenang. Padahal saya tahu pasti, gaji mereka tak ada apa-apanya dibanding kekayaan saya. Suatu kali, iseng saya tanyakan, mengapa disiplin shalat. 


Apa jawabannya? Sungguh membuat terkejut. 


"Kami shalat semata-mata mencari keridhaan Allah, hidup di dunia hanya sementara. Ada kehidupan yang kekal di akhirat kelak, yang harus kami persiapkan sebelum mati," begitu jawab mereka.

Sungguh, selama itu tak pernah berpikir mati. Yang saya tahu, kematian hanyalah akhir kehidupan. Menurut karyawan tadi, kematian adalah pintu atau jalan antara, menuju alam lain, yang disebut akhirat. 


Segala perbuatan, akan diperhitungkan sesuai baik-buruknya. Mengingat itu, bulu kuduk berdiri. Saya amat takut menghadapi kematian, dalam keadaan dosa.

Mimpi Shalat. 

Sejak itu, jadi pendiam. Merenung & berpikir tentang diri sendiri. Mulai suka mengikuti siaran Mimbar Agama Islam TVRI, setiap Kamis Malam. 

Begitu tenggelamnya dalam perenungan, sehingga suatu malam, 10 Januari 1994 malam 27 Rajab (Isra' Mi'raj), saya bermalan di vila sejuk, di Tawangmangu (Solo). Dalam tidur, bermimpi diberikan sehelai sajadah oleh teman karib, lalu disuruh shalat. 


"Saya nggak bisa shalat," jawab saya. 


Ia memberi contoh. Setelah paham, disuruh mengulangi gerakan shalat yang ia peragakan. 


"Shalatlah kamu," katanya. 


Saya pun shalat. Tapi, baru separo jalan, terjaga. Ternyata, mimpi. Sejak itu, saya jadi gelisah. Isteri bingung melihat saya. Saya tak menceritakan mimpi itu. Untuk beberapa waktu, mimpi hanya jadi rahasia saya. Lama-lama, tak tahan juga.

Saya mempunyai tukang pijat pribadi, namanya Pak Edi. Muslim taat. Ketika suatu malam dipijat, saya ceritakanlah mimpi itu. Pak Edi spontan bergumam, 


"Subhanallah, insya Allah tak lama lagi Bapak akan masuk Islam," katanya mantap. 


"Benarkah ?" tanya saya. "Insya Allah," jawabnya pasti.

Sejak itu, saya dibimbing shalat. Saya pun mengikuti sarannya, berkhitan. Sembunyi-sembunyi. Khitan di Jakarta. Ketika masuk bulan suci Ramadhan, puasa & zakat (mal). 


Sudah mantap, Pak Edi menyarankan keislaman diproklamirkan. Agar semua tahu, saya muslim. 

11 Maret 1994 bertepatan peringatan Supersemar, saya mengucapkan 2 kalimat syahadat di hadapan umat Islam & karyawan PT Sritex. Dibimbing pemimpin Ponpes Al-Mukmin, Ngruki, Ustadz H.Moh. Amir, S.H.Alhamdulillah, isteri telah muslimah. 1995, bersama isteri & 10 orang staf PT Sritex, menunaikan Haji. 


[Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : gemainsani; Journey to Islam. Kisah Rohani berharga Perjalanan HM. Lukminto Raja Tekstil - PT Sritex Mendapat Hidayah Islam.]



0 komentar:

Posting Komentar

hanya komentar yang baik, menyejukkan, mencerdaskan, menginspirasi