Kamis, 30 Januari 2014

Belajar Hadits: Bahaya Hadits Dla’if & Mawdlu’ (Palsu)

Di antara bencana besar yang menimpa kaum Muslimin sejak periode-periode pertama, adalah tersebar luasnya hadits-hadits Dla’if (lemah) & Mawdlu’ (palsu) di tengah mereka. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan di sini, sekalipun mereka adalah kalangan ulama mereka. Kecuali, beberapa gelintir orang yang dikehendaki Allah. Di antaranya para imam hadits & nuqqaad (para kritikus hadits). Seperti: Imam al-Bukhary, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim ar-Razy & ulama lainnya. 



Penyebaran yang secara meluas tersebut, mengakibatkan banyak dampak negatif. Di antaranya ada yang terkait dengan masalah-masalah aqidah yang bersifat ghaib. Ada pula ada yang berupa perkara-perkara Tasyri’ (syari’at).

Adalah hikmah Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui. Dia tidak membiarkan hadits-hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang benci terhadap agama ini, untuk tujuan-tujuan tertentu, menjalar ke tubuh kaum Muslimin tanpa mengutus orang yang akan menyingkap kedok yang menutupi hakikatnya & menjelaskan kepada manusia permasalahannya.

Mereka itulah para ulama Ahli hadits & pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang didoakan Rasullah dalam sabdanya:,

“Semoga Allah mencerahkan (menganugerahi nikmat) seseorang yang mendengarkan perkataanku lalu menangkap (mencernanya), menghafal & menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu, tetapi tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal & menyampaikannya) dari orang yang dia sampaikan kepadanya/pendengarnya (karena ia mampu menggali dalil sehingga lebih faqih darinya).” (HR.Abu Daud & at-Turmudzy yang menilainya shahih).

Para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka dari kaum Muslimin- telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari sisi keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya. Dan telah membuat dasar-dasar yang kokoh & kaidah-kaidah yang mantap.

Siapa saja yang menekuni & mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat mengetahui kualitas hadits apa pun. Meski mereka (para imam tersebut), belum memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu Ushul Hadits. Atau lebih dikenal dengan Llmu Mushthalah Hadits.

Para ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa buku yang khusus untuk mencari hadits-hadits & menjelaskan kondisinya. Di antaranya yang paling masyhur & luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid al-Hasanah Fii Bayaan Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya al-Hafizh as-Sakhawy.

Demikian juga buku semisalnya. Seperti buku-buku Takhriijaat (untuk mengeluarkan jalur hadits & kualitasnya) yang menjelaskan kondisi hadits-hadits yang terdapat di dalam buku-buku pengarang yang buku berasal dari Ahli Hadits (ulama hadits) & buku-buku yang berisi hadits-hadits yang tidak ada asalnya.

Seperti buku Nashb ar-Raayah Li Ahaadiits al-Bidaayah karya al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml al-Asfaar Fii al-Asfaar Fii Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya al-Hafizh al-‘Iraqy, at-Talkhiish al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany, Takhriij Ahaadiits al-Kasysyaaf  karya Ibn Hajar juga & Takhriij Ahaadiits asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy. Semua buku tersebut sudah dicetak & diterbitkan.

Sekalipun para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka- telah melanggengkan jalan kepada generasi setelah mereka, baik buat kalangan para ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka mengetahui kualitas setiap hadits melalui buku-buku tersebut & semisalnya, akan tetapi –sangat disayangkan sekali- kami melihat mereka malah telah berpaling dari membaca buku-buku tersebut.

Maka karenanya, mereka pun buta terhadap kondisi hadits-hadits yang telah mereka hafal dari para guru mereka. Atau yang mereka baca pada sebagian buku yang tidak interes terhadap hadits yang shahih & valid. Karena itu pula, kita hampir tidak pernah mendengarkan suatu wejangan dari sebagian Mursyid (penyuluh), ceramah dari salah seorang ustadz atau khuthbah seorang khathib, melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu dari hadits-hadits Dla’if & Mawdlu’ tersebut.  Dan ini amat berbahaya. Karenanya dikhawatirkan mereka semua akan terkena ancaman sabda beliau SAW., yang berbunyi:

“Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir)

Walaupun secara langsung, mereka tidak menyengaja berdusta. Namun sebagai imbasnya, mereka tetap berdosa. Karena telah menukil (meriwayatkan) hadits-hadits yang semuanya mereka periksa, padahal mengetahi secara pasti bahwa di dalamnya terdapat hadits yang Dla’if atau pun hadits dusta.

Mengenai hal ini, terdapat isyarat dari makna hadits Rasulullah yang berbunyi, “Cukuplah seseorang itu berdusta manakala ia menceritakan semua apa yang didengarnya (tanpa disaring lagi-red.,).” (HR.Muslim) & hadits lainnya dari riwayat Abu Hurairah.

Kemudian dari itu, telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah bahwa tidaklah selamat seorang yang menceritakan semua apa yang didengarnya & selamanya, ia bukan imam bilamana menceritakan semua apa yang didengarnya.”

Imam Ibn Hibban berkata di dalam kitab Shahihnya, “Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa, Rasulullah SAW., padahal ia tidak mengetahui keshahihannya,”.

Setelah itu, beliau mengetengahkan hadits Abu Hurairah dengan sanadnya secara marfu’, “Barangsiapa yang berkata dengan mengatasnamakanku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Kualitas sanad hadits ini Hasan & makna asalnya terdapat di dalam kitab ash-Shahiihain & kitab lainnya.

Selanjutnya, Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang menunjukkan keshahihan hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,”.  Kemudian beliau mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya, dia berkata, Rasulullah SAW., bersabda,

“Barangsiapa yang membicarakan suatu pembicaraan mengenaiku (membacakan satu hadits mengenaiku) di mana ia terlihat berdusta, maka ia adalah salah seorang dari para pendusta.” (Kualitas hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam mukaddimahnya dari hadits Samurah & al-Mughirah bin Syu’bah secara bersama-sama).

Ibn Hibban berkata, “Ini adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia melanjutkan, “Pembahasan mengenai hadits kedua yang menunjukkan keshahihan pendapat kami,” lalu dia mengetengahkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.

Dari apa yang telah disampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa, tidak boleh menyebarkan hadits-hadits & meriwayatkannya, tanpa terlebih dahulu melakukan tatsabbut (cek-ricek) mengenai keshahihannya. Sebab, orang yang melakukan hal itu, maka cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasulullah yang bersabda:

“Sesungguhnya berdusta terhadapku bukanlah berdusta terhadap salah seorang di antara kamu; barangsiapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR.Muslim & selainnya), wallahu a’lam.


(SUMBER: Mukaddimah Syaikh al-Albany di dalam bukunya Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, jld.I, h.47-51 dengan sedikit perubahan & pengurangan)



0 komentar:

Posting Komentar

hanya komentar yang baik, menyejukkan, mencerdaskan, menginspirasi