Sabtu, 18 Januari 2014

Mengenal Ilmu Hadits @2/2

Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits Dhoif ?

Para ulama sepakat, melarang meriwayatkan hadits dhoif yang maudhu' tanpa menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif itu bukan hadits maudhu' maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut ini pendapat yang ada yaitu:
Pendapat Pertama, melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dhoif, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnul 'Araby.

Pendapat Kedua, membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya & tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla'ilul a'mal  & cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal & haram, & bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah).

Para imam seperti Ahmad bin hambal, Abdullah bin al Mubarak berkata: "Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram & hukum-hukum, kami perkeras sanadnya & kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala & siksa kami permudah & kami perlunak rawi-rawinya."

Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan 3 syarat dalam hal meriwayatkan hadits dhoif, yaitu:

Hadits dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, & banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.

Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih & hasan)

Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.

Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi:
[1] Hadits Mutawatir: adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul & bersepakat dusta.

Syarat syarat hadits mutawatir
Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar benar hasil pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.

Jumlah rawi-rawinya harus mencapai satu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong/dusta.

Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Kalau suatu hadits diriwayatkan oleh 5 sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 tabi'in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.

[2] Hadits Ahad: adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits mutawatir.
Klasifikasi hadits AhadHadits Masyhur: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.Hadits Aziz: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2 orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.

Hadits Gharib: adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.

Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Ilahi

Adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada nabiNya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.

Perbedaan Hadits Qudsi dengan hadits Nabawi
Pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat:
Qala ( yaqalu ) Allahu

Fima yarwihi 'anillahi Tabaraka wa Ta'ala

Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut di atas.

Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an:

Semua lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah mukjizat & mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian.

Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur'an, tidak berlaku pada hadits qudsi. Seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats, dll.

Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur'an memberikan hak pahala kepada pembacanya.
Meriwayatkan Al-Qur'an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafadz sinonimnya, sedang hadits qudsi tidak demikian.

Bid'ah
Yang dimaksud dengan bid'ah ialah, sesuatu bentuk ibadah yang dikategorikan dalam menyembah Allah yang Allah sendiri tidak memerintahkannya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam  tidak menyontohkannya, serta para sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam  tidak mencontohkannya.

Kewajiban sebagai seorang muslim adalah mengingatkan amar ma'ruf nahi munkar kepada saudara-saudara seiman yang masih sering mengamalkan amalan-amalan ataupun cara-cara bid'ah.

Alloh berfirman, dalam QS Al-Maidah ayat 3, 
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, & telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, & telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu."
Jadi, tidak ada satu halpun yang luput dari penyampaian risalah oleh Nabi. Sehingga jika terdapat hal-hal baru yang berhubungan dengan ibadah, maka itu adalah bid'ah.

"Kulu bid'ah dholalah..." semua bid'ah adalah sesat (dalam masalah ibadah). "Wa dholalatin fin Naar..." & setiap kesesatan itu adanya dalam neraka.

Beberapa hal seperti speaker, naik pesawat, naik mobil, pakai pasta gigi, tidak dapat dikategorikan sebagai bid'ah. Semua hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk ibadah yang menyembah Allah. Ada tata cara dalam beribadah yang wajib dipenuhi, misalnya dalam hal sembahyang ada ruku, sujud, pembacaan al-Fatihah, tahiyat, dst.

Ini semua adalah wajib & siapa pun yang menciptakan cara baru dalam sembahyang, maka itu adalah bid'ah. Ada tata cara dalam ibadah yang dapat kita ambil hikmahnya. Seperti pada zaman Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggunakan siwak, maka sekarang menggunakan sikat gigi & pasta gigi, terkecuali beberapa muslim di Arab, India, dst.

Menemukan hal baru dalam ilmu pengetahuan bukanlah bid'ah, bahkan dapat menjadi ladang amal bagi umat muslim. Banyak muncul hadits-hadits yang bermuara (matannya) kepada hal bid'ah. Dan ini sangat sulit sekali untuk diingatkan kepada para pengamal bid'ah.

Apakah yang menyebabkan timbulnya Hadits-Hadits Palsu?

Di dalam Kitab Khulaashah Ilmil Hadits dijelaskan bahwa, kabar yang datang pada Hadits ada 3 macam:
  1. Yang wajib dibenarkan (diterima).
  2. Yang wajib ditolak (didustakan, tidak boleh diterima) yaitu Hadits yang diadakan orang mengatasnamakan Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
  3. Yang wajib ditangguhkan (tidak boleh diamalkan) dulu sampai jelas penelitian tentang kebenarannya, karena ada dua kemungkinan. Boleh jadi itu adalah ucapan Nabi & boleh jadi pula itu bukan ucapan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (dipalsukan atas nama Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).
Untuk mengetahui apakah Hadits itu palsu atau tidak, ada beberapa cara, di antaranya:
Atas pengakuan orang yang memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata, artinya: Aku pernah palsukan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah memalsukan Hadits hadits yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadits yang hubungannya dengan Fadhilah Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).

Dengan memperhatikan & mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Palsu. Misalnya dengan melihat & memperhatikan keadaan & sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu.

Terdapat ketidaksesuaian makna dari matan (isi cerita) hadits tersebut dengan Al-Qur'an. Hadits tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada dalam ayat-ayat Qur'an.
Terdapat kekacauan atau terasa berat di dalam susunannya, baik lafadznya ataupun ditinjau dari susunan bahasa & Nahwunya (grammarnya).

Sebab-sebab timbulnya Hadits-hadits Palsu

Adanya kesengajaan pihak lain, 'merusak' ajaran Islam. Misalnya kaum Orientalis Barat yang mempelajari Islam untuk tujuan 'menghancurkan' Islam (seperti Snouck Hurgronje).
  1. Untuk menguatkan pendirian atau madzhab suatu golongan tertentu. Umumnya dari golongan Syi'ah, golongan Tareqat, golongan Sufi, para Ahli Bid'ah, orang-orang Zindiq, orang yang menamakan diri mereka Zuhud, golongan Karaamiyah, para Ahli Cerita, & lain-lain. Semua yang tersebut ini membolehkan untuk meriwayatkan atau mengadakan Hadits-hadits Palsu yang ada hubungannya dengan semua amalan-amalan yang mereka kerjakan. Yang disebut 'Targhiib' atau sebagai suatu ancaman yang yang terkenal dengan nama 'At-Tarhiib'.
  2. Untuk mendekatkan diri kepada Sultan, Raja, Penguasa, Presiden, & lain-lainnya dengan tujuan mencari kedudukan.
  3. Untuk mencari penghidupan dunia (menjadi mata pencaharian dengan menjual hadits-hadits Palsu).
  4. Untuk menarik perhatian orang sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ahli dongeng & tukang cerita, juru khutbah, & lain-lainnya.
Hukum meriwayatkan Hadits-hadits Palsu
Secara Muthlaq, meriwayatkan hadits-hadits palsu itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu.

Bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau mebacakannya) maka tidak ada dosa atasnya.

Mereka yang tidak tahu sama, sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa atasnya. 

Akan tetapi sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah hadits palsu, maka hendaklah segera dia tinggalkannya. Kalau tetap dia amalkan sedang dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, maka hukumnya tidak boleh (berdosa - dari Kitab Minhatul Mughiits).

(Sumber Rujukan: Kitab Hadits Dhaif & Maudhlu - Muhammad Nashruddin Al-Albany;  Kitab Hadits Maudhlu -  Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah; Kitab Mengenal Hadits Maudhlu - Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy; Kitab Kalimat-kalimat Thoyiib - Ibnu Taimiyah (tahqiq oleh Muhammad Nashruddin Al-Albany);  Kitab Mushtholahul Hadits -  A. Hassan) [14010019; http://mediaislam.fisikateknik.org]

Mengenal Ilmu Hadits @1/2

0 komentar:

Posting Komentar

hanya komentar yang baik, menyejukkan, mencerdaskan, menginspirasi