Rabu, 19 Maret 2014

Fiqih Nasehat



Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari, bahwa Nabi telah bersabda, “Agama (Islam) itu adalah nasehat.” (beliau mengulanginya 3 kali), Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, & kaum muslimin umumnya.”

Takhrij Hadits Ringkas
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 55) di dalam Shahih-nya di dalam Kitab al-Iman: Bab Bayan Anna ad-Din an-Nashihah (II/32-Syarah an Nawawi), dari 3 jalur yang semuanya bertemu pada Suhail bin Abu Shalih dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi dari Tamim ad-Dari. Riwayat inilah yang paling masyhur dalam periwayatan hadits ini.

Sedangkan Imam Bukhari hanya menyebutkannya -dengan lafal serupa- dalam judul sebuah bab dalam Shahih-nya, yaitu Bab Qaul an-Nabi: ad-Din an-Nashihah, lilLahi, wa li Rasulihi, wa li Aimmati l-Muslimin wa ‘Ammatihim di dalam Kitab al-Iman (I/166-Fathul Bari), karena Suhail bin Abu Shalih tidak memenuhi syarat (kriteria) shahih beliau.

Riwayat yang mengisyaratkan pengulangan, dengan kalimat ‘tsalaasan‘ (mengulanginya 3 kali) pada hadits di atas, terdapat dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya, & inilah yang dibawakan oleh Ibnu Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/202, hadits no. 7). Sedangkan Imam an Nawawi dalam al-Arbain (hadits no.7) membawakannya tanpa pengulangan dengan isyarat lafal (tsalaatsan).

Biografi Periwayat Hadits
Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari

Beliau adalah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin Judzaimah al-Lukhami al-Filisthini (dari Palestina), Abu Ruqayyah ad-Dari. Beliau masuk Islam pada tahun 9 H. Sebelumnya beliau seorang nasrani, bahkan salah seorang pendeta di Palestina. Pada suatu waktu terjadi pada dirinya sebuah kisah yang menakjubkan, yaitu kisah al-Jassasah [seekor hewan melata berbulu lebat yang berbicara kepada Tamim ad-Dari, yang juga akan berbicara kepada manusia kelak di akhir jaman - Lihat an-Nihayah (V/268) & Lisanul-Arab (I/786)].

Dalam kisah itu terdapat cerita tentang Dajjal yang akan keluar nanti di akhir jaman – semoga Allah melindungi kita dari kejahatannya-. Nabi meriwayatkan kisah ini dari beliau (Tamim), & ini sebagai salah satu keutamaan beliau (selengkapnya kisah al-Jassasah ini dalam Shahih Muslim (hadits no. 2942).

Semenjak masuk Islam, beliau tinggal di Madinah sampai terbunuhnya Khalifah Utsman bin ‘Affan. Setelah itu beliau pindah ke Baitul Maqdis di Palestina, tepatnya di desa ‘Ainun. 

Beliau termasuk salah seorang sahabat yang mengumpulkan al-Qur’an. Ada sekitar 40 hadits yang beliau riwayatkan dari Nabi, satu di antaranya terdapat dalam Shahih Muslim, yaitu hadits ini. 

Hidup beliau dipenuhi dengan ibadah. Beliau giat bertahajjud (shalat malam), & membaca al-Qur’an. Beliau wafat pada tahun 40 H di Bait Jabrin, Palestina, tanpa meninggalkan seorang anak pun, kecuali Ruqayyah. Semoga Allah meridhai beliau. 
(Lihat biografinya dalam al-Ishabah (I/367), al-Isti‘ab (I/193), Siyar A‘lamin Nubala’ (II/442), ats-Tsiqat (III/39), dll).

Makna Kata & Kalimat
Kata (ad-din) secara bahasa memiliki sejumlah makna, antara lain makna al-jaza’ (pembalasan), al-hisab (perhitungan), al-‘adah (kebiasaan), ath-tha‘ah (ketaatan), & al-Islam (ajaran/agama Islam). Makna yang terakhir inilah yang dimaksud dalam hadits ini.

Kata (an-nashihah) berasal dari kata (an-nushhu) yang memiliki beberapa pengertian.

a. (al-Khulush) berarti murni (Lisanul-Arab (II/616), an-Nihayah (V/62), seperti dalam kalimat :

(alkhaalisu minal ‘asali) ‘Madu yang murni’. Perkataan & perbuatan yang murni (bersih) dari kotoran dusta & khianat adalah bagaikan madu yang murni (bersih) dari lilin (I‘lamu l-Hadits (I/190), & Syarah Shahih Muslim (II/33)).

b. (‘al-Khiyathah/al-Khaith’) berarti ‘menjahit/ menyulam dengan jarum’ (Lisanul-Arab (II/617), Fathul Bari (I/167). Perbuatan seseorang yang menyampaikan nasehat kepada saudaranya yang melakukan kesalahan demi kebaikan saudaranya, adalah bagaikan orang yang menjahit/menyulam baju yang robek/berlubang sehingga baik kembali & layak dipakai. (I’lamul-Hadits (I/190) & Syarah Shahih Muslim (II/33).

Adapun menurut istilah syar’i, Ibnu al-Atsir menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang mengungkapkan suatu kalimat yang sempurna, yaitu keinginan (memberikan) kebaikan kepada orang yang dinasehati. Makna tersebut tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata, sehingga harus bergabung dengannya kata yang lain” (An-Nihayah (V/62).

Ini semakna dengan defenisi yang disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata, “Nasehat adalah sebuah kata yang jami‘ (luas maknanya) yang berarti mengerahkan segala yang dimiliki demi (kebaikan) orang yang dinasihati. Ia merupakan sebuah kata yang ringkas (namun luas maknanya). 

Tidak ada satu kata pun dalam bahasa Arab yang bisa mengungkapkan makna dari kata (nasehat) ini, kecuali bila digabung dengan kata lain.” (I’lamul-Hadits (I/189-190) & Syarah Shahih Muslim (II/32-33), lihat Fathul Bari (I/167)).

Kedudukan Hadits
Abu Dawud menyebutkan bahwa hadits ini adalah salah satu dari lima hadits yang kepadanya Fikih Islam bermuara (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 & 203).

Abu Nu’aim mengatakan bahwa hadits ini memiliki kedudukan yang agung, yang dikatakan oleh Muhammad bin Aslam ath-Thusi bahwa dia adalah seperempat agama (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 & 203) & Fathul Bari (I/167)).

Bahkan, agama ini hanya bermuara kepadanya, seperti dikatakan oleh an Nawawi (Syarah Shahih Muslim (II/32)).

Ibnu Rajab berkata, “Nabi telah mengabarkan bahwa agama itu adalah nasehat. Hal ini menunjukkan bahwa nasehat mencakup Islam, Iman, & Ihsan yang tersebut dalam hadits-Jibril (Muslim (hadits no. 8) dari Umar bin al-Khaththab)” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (1/206)).

MACAM-MACAM NASEHAT

“Agama (Islam) itu adalah nasehat”.
Khaththabi berkata, “Maksudnya adalah bahwa tiang (yang menyangga) urusan agama ini adalah nasehat. Dengannya, agama ini akan tegak & kuat” (I’lamul-hadits (I/190)).

Ibnu Hajar berkata, “Boleh jadi (kalimat ini) bermakna mubalaghah (melebihkan suatu perkara). Maksudnya (bahwa) sebagian besar agama ini (isinya) adalah nasehat. Ini serupa dengan hadits: ‘Haji itu Arafah’.

Bisa jadi pula bermakna sebagaimana lahirnya lafal tersebut (yakni tidak lain agama ini adalah nasehat), karena setiap amalan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ikhlas maka hal itu bukan termasuk bagian agama.” (Fathul Bari (I/167))

“Nasehat bagi Allah”
Yaitu, beriman kepada-Nya semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk penyimpangan & pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan & kebesaran, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-nya, cinta & benci karena-Nya, bersikap wala’ (loyal) kepada orang-orang yang mentaati-Nya & membenci orang-orang yang menentang-Nya, memerangi orang-orang yang kufur terhadap-Nya, mengakui & mensyukuri segala nikmat dari-Nya, & ikhlas dalam segala urusan, mengajak & menganjurkan manusia untuk berperilaku dengan sifat-sifat di atas, serta berlemah lembut terhadap mereka atau sebagian mereka dengan sifat-sifat tersebut.

Khaththabi berkata, “Hakekat idhafah (penyandaran) nasehat kepada Allah –sebenarnya- kembali kepada hamba itu sendiri, karena Allah tidak membutuhkan nasehat manusia”. (Syarah Shahih Muslim (II/33), & lihat I’lamul-Hadits (I/191)).

“Nasehat bagi Kitab Allah”.
Yaitu, mengimani bahwa Kitab Allah adalah Kalamullah (wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan (kepada Rasul-Nya) yang tidak serupa sedikit pun dengan perkataan makhluk-Nya, & tiada seorang makhluk pun yang sanggup membuat yang serupa dengannya. 

Mengagungkannya, membacanya dengan sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan, khusyu’, & mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar.

Membelanya dari penakwilan (batil) orang-orang yang menyimpang & serangan orang-orang yang mencelanya. Membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukumnya, menyerap ilmu-ilmu & perumpamaan-perumpamaan (yang terkandung) di dalamnya. Mengambil ibrah (pelajaran) dari peringatan-peringatannya.

Memikirkan hal-hal yang menakjubkan di dalamnya. Mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (yang jelas) disertai dengan sikap taslim (menerima sepenuh hati) ayat-ayat yang mutasyabih (yang sulit) – yakni bahwa semuanya dari Allah-. Meneliti mana yang umum (maknanya) & mana yang khusus, mana yang nasikh (yang menghapus hukum yang lain) & mana yang mansukh (yang dihapus hukumnya).

Menyebarkan (mengajarkan) ilmu-ilmunya & menyeru manusia untuk berpedoman dengannya, & seterusnya yang bisa dimasukkan dalam makna nasehat bagi Kitabullah (Syarh Shahih Muslim (II/33), & lihat juga I’lamul-Hadits (I/191-192)).

“Nasehat bagi Rasulullah”.
Yaitu, membenarkan kerasulan beliau, mengimani segala yang beliau bawa. Mentaati perintah & larangan beliau, membela & membantu (perjuangan) beliau semasa beliau hidup maupun setelah wafat. Membenci orang-orang yang membenci beliau & menyayangi orang-orang yang loyal kepada beliau, mengagungkan hak beliau, menghormati beliau dengan cara menghidupkan sunnah beliau, ikut menyebarkan dakwah & syariat beliau, dengan membendung segala tuduhan terhadap sunnah beliau tersebut.

Mengambil ilmu dari sunnah beliau dengan memahami makna-maknanya, menyeru manusia untuk berpegang dengannya, lemah lembut dalam mempelajari & mengajarkannya, mengagungkan & memuliakan sunnah beliau tersebut, beradab ketika membacanya, tidak menafsirkannya dengan tanpa ilmu, memuliakan orang-orang yang memegang & mengikutinya.

Meneladani akhlak & adab-adab yang beliau ajarkan, mencintai ahli bait & para sahabat beliau, tidak mengadakan bid‘ah terhadap sunnah beliau, tidak mencela seorang pun dari para sahabat beliau, & makna-makna lain yang semisalnya (Syarah Shahih Muslim (2/33), & lihat juga I’lam al-Hadits (1/192)).

“Nasehat bagi para imam/pemimpin kaum muslimin”.
Artinya, membantu & mentaati mereka di atas kebenaran. Memerintahkan & mengingatkan mereka untuk berdiri di atas kebenaran dengan cara yang halus & lembut. Mengabarkan kepada mereka ketika lalai dari menunaikan hak-hak kaum muslimin yang mungkin belum mereka ketahui, tidak memberontak terhadap mereka, & melunakkan hati manusia agar mentaati mereka.

Imam al-Khaththabi menambahkan, “Dan termasuk dalam makna nasehat bagi mereka adalah shalat di belakang mereka, berjihad bersama mereka, menyerahkan shadaqah-shadaqah kepada mereka, tidak memberontak & mengangkat pedang (senjata) terhadap mereka –baik ketika mereka berlaku zhalim maupun adil-, tidak terpedaya dengan pujian dusta terhadap mereka, & mendoakan kebaikan untuk mereka. 

Semua itu dilakukan bila yang dimaksud dengan para imam adalah para khalifah atau para penguasa yang menangani urusan kaum muslimin, & inilah yang masyhur”.

Lalu beliau melanjutkan, “Dan bisa juga ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan para imam adalah para ulama, & nasehat bagi mereka berarti menerima periwayatan mereka, mengikuti ketetapan hukum mereka (tentu selama mengikuti dalil), serta berbaik sangka (husnu zh-zhan) kepada mereka”. (Syarah Shahih Muslim (2/33-34), I’lam al-Hadits (1/192-193)).

“Nasehat bagi kaum muslimin umumnya”.
Artinya, membimbing mereka menuju kemaslahatan dunia & akhirat, tidak menyakiti mereka, mengajarkan kepada mereka urusan agama yang belum mereka ketahui & membantu mereka dalam hal itu baik dengan perkataan maupun perbuatan, menutup aib & kekurangan mereka, menolak segala bahaya yang dapat mencelakakan mereka, mendatangkan manfaat bagi mereka, memerintahkan mereka melakukan perkara yang ma’ruf & melarang mereka berbuat mungkar dengan penuh kelembutan & ketulusan.

Mengasihi mereka, menghormati yang tua & menyayangi yang muda dari mereka, diselingi dengan memberi peringatan yang baik (mau‘izhah hasanah), tidak menipu & berlaku hasad (iri) kepada mereka, mencintai kebaikan & membenci perkara yang tidak disukai untuk mereka sebagaimana untuk diri sendiri, membela (hak) harta, harga diri, & hak-hak mereka yang lainnya baik dengan perkataan maupun perbuatan, menganjurkan mereka untuk berperilaku dengan semua macam nasehat di atas, mendorong mereka untuk melaksanakan ketaatan & sebagainya (Syarh Shahih Muslim (II/34), I’lamul-Hadits (I/193)).

Keutamaan Orang yang Memberi Nasehat
Menasehati hamba-hamba Allah kepada hal yang bermanfaat bagi dunia & akhirat mereka merupakan tugas para rasul. Allah mengabarkan perkataan nabi-Nya, Hud, ketika menasehati kaumnya,
“Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepada kalian & aku ini hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (Q.S. Al-A‘raf: 68).
Allah juga menyebutkan perkataan nabi-Nya, Shalih, kepada kaumnya setelah Allah menimpakan bencana kepada mereka,
“Maka Shalih berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, & aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat’” (Q.S. Al-A‘raf: 79).
Maka seorang hamba akan memperoleh kemuliaan manakala dia melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh para nabi & rasul. Nasehat merupakan salah satu sebab yang menjadikan tingginya derajat para nabi, maka barangsiapa yang ingin ditinggikan derajatnya di sisi Allah, Pencipta langit & bumi, maka hendaknya dia melaksanakan tugas yang agung ini (Qawaid wa Fawaid (hal. 94-95)).

Hukum Nasehat
Imam Nawawi menukil perkataan Ibnu Baththal,

“(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila ada (sebagian) orang yang melakukannya & gugur dosa atas yang lain.” Lebih lanjut Ibnu Baththal berkata,

“Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan (masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu bahwa nasehatnya akan diterima & perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya (yang akan menyakitinya). 

Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya (yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim (II/34)).

Namun, menengok kepada maknanya yang menyeluruh, nasehat itu ada yang fardhu ‘ain & ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib & ada yang mustahab. Karena Nabi menjelaskan bahwa agama itu adalah nasehat, sementara agama itu ada di antaranya yang wajib & ada yang mustahab, ada yang merupakan fardhu ‘ain & ada yang fardhu kifayah (Qawaid wa Fawaid (hal. 95)).

Hal yang serupa telah dikatakan oleh Muhammad bin Nashr dalam kitabnya Ta‘zhim Qadra ash-Shalat seperti dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam , katanya, “Dan ia (nasehat) terbagi menjadi dua, ada yang fardhu (wajib) & ada yang nafilah (sunnah/dianjurkan)”. Lalu beliau memerinci hal tersebut secara panjang lebar yang tidak dapat kami muat disini (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/207-210)).

Faedah-Faedah
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu khitab (penyampaian). Ini diambil dari kalimat: ‘Kami (para sahabat) bertanya, ‘untuk siapa?’”. (Fathul Bari (1/167), cet. Dar ar-Rayyan lit-Turats).

Dan bahwa nasehat itu dinamakan agama & Islam, & bahwa agama ini ada yang berupa perbuatan sebagaimana ada yang berupa perkataan (Qawaid wa Fawaid (hal. 95)).

2. Perkataan Imam Bukhari dalam shahihnya, “Bab sabda Nabi, ‘Ad-diinun nashiihah, lillahi, wa lirasulihi, wa liaimmatil muslimin wa ‘ammatihim’ Wa Qouluhu Ta’ala (wa idzaa nashohu lillahi walirasuulihi)” dalam kitab ‘al-Iman’, untuk menunjukkan bahwa nasehat merupakan bagian dari iman (Qawaid wa Fawaid (hal. 96)).
Wallahu A’lam .

[Dari Majalah Fatawa;  muslim.or.id; HaditsWeb]

0 komentar:

Posting Komentar

hanya komentar yang baik, menyejukkan, mencerdaskan, menginspirasi