Melekh Yacov lahir di New York. Ia dibesarkan dalam keluarga Yahudi
Hasidic, kelompok Yahudi ultra-ortodoks. Berbeda dengan penganut Hasidic lain,
keluarga Yacov tergolong biasa-biasa saja dalam menjalankan keyakinannya.
“Kami tidak seperti itu, kami tetap beraktivitas ketika hari sabat.
Saya juga tidak mengenakan yarmulke di kepala. Yang pasti, keluargaku lebih
banyak dipengaruhi kehidupan sekuler,”
Semasa muda, Yacov merasa tidak seperti orang Yahudi. Ia tidak lagi
mempedulikan hari Sabat. Sering mengkonsumsi makanan non halal. Sadar, dirinya
tidak lagi mematuhi aturan. Saat itu ia berpikir, apa yang ia lakukan merupakan
kehendak Allah. Padahal, semasa kecil, ia banyak mendengar cerita kisah para
rabi seperti Eliezar, Baal Shem Tov & Taurat.
Setiap cerita yang ia dengar, Yahudi sepanjang sejarah selalu ditindas.
Selama itu pula, Tuhan bersama umatnya sampai akhir.
“Bangsa kami selalu mendapat anugerah-Nya. Jika seseorang ingin
memperoleh pandangan objektif tentang alasan orang Yahudi memiliki sikap zionis
maka anda harus melihat bagaimana kami didoktrin sejak kecil. Itulah mengapa,
kami seolah tidak pernah melakukan kesalahan apapun,”
Yacov tahu betul bahwa Yahudi memiliki ikatan kuat 1 dengan yang lain.
Setiap Yahudi selalu memegang erat “umat pilihan” Allah. Tapi ia tidak
merasa nyaman dengan itu.
Ia masih ingat, betapa membosankannya saat ia diajak ayahnya
mengunjungi sinagoga.
“Saya merasa aneh dengan melihat banyak orang bertopi hitam dengan
janggut panjang lalu berdoa dengan bahasa Ibrani,”.
Memasuki usia 13 tahun, Yacov menjalani proses khitan. Dalam tradisi
Yahudi disebut Bar-mitvahh’ed. Lalu, setiap paginya ia menempatkan Tefilin,
kotak hitam berisi ayat Taurat.
Namun, kebiasaan itu tidak berlangsung lama. Awalnya, ayah Yacov
bertengkar dengan anggota jamaah lain. Sejak itu, ayah menolak untuk mendatangi
sinagoga.
Tak lama, ayahnya memeluk Kristen. Lantaran diajak temannya. Ibunya
enggan menerima keputusan suaminya itu, & akhirnya mengajukan cerai.
Masa-masa ini merupakan yang terberat dalam hidup Yacov.
“Keputusan ayah banyak berpengaruh padaku. Saya sendiri bingung,
sebenarnya apa Yahudi itu apakah bangsa, budaya atau agama. JIka bangsa,
mengapa Yahudi selalu menjadi warga negara kelas 2. Jika agama, mengapa setiap
doa dibacakan dalam bahasa Ibrani. Lalu jika budaya, jika seseorang berhenti
menjadi Yahudi maka ia berhenti berbicara bahasa Ibrani & mempraktekan
tradisi Yahudi,”
Pertanyaan lain, mengapa Ibrahim disebut Yahudi. Padahal ia hidup
sebelum Taurat turun kepada Nabi Musa. Anehnya lagi, Taurat tidak menyebutkan
Nabi Ibrahim sebagai Yahudi. Kata Yahudi sendiri berasal dari nama salah 1 dari
12 anak Nabi Yakub, Yehuda.
“Dalam tradisi Yahudi sendiri, ketika ibunya Yahudi, anda dapat menjadi Yahudi meski Kristen atau atheis. Sejak itu, saya
mulai menjauh dari tradisi Yahudi, karena saya tidak puas lantaran terlalu
banyak tanda tanya,”.
Sejenak menjauh dari tradisi Yahudi, ia mulai terpesona budaya asli
Amerika. Mereka memiliki semangat juang tinggi menghadapi sikap jumawa kulit
putih. Mereka terusir dari tanah kelahirannya sendiri. Terkucil, namun tidak
berputus asa dengan keadaan.
Kondisi itu, seperti yang dialami bangsa Palestina. Selama ribuan
tahun, bangsa Palestina menempati tanah suci. Kini, mereka harus digantikan
orang Yahudi.
Penduduk asli terpaksa tinggal di kamp pengungsi.
“Lalu saya bertanya kepada orang tua tentang apa perbedaan warga
asli Amerika & Palestina. Jawaban yang saya dapatkan adalah bangsa
Palestina selalu ingin membunuh orang Yahudi lalu mengusir mereka ke laut,”.
Baca Bagian ke 2: Melekh Yacov, Yahudi Hasidic Memeluk Islam @2/2
0 komentar:
Posting Komentar
hanya komentar yang baik, menyejukkan, mencerdaskan, menginspirasi