Rabu, 02 Maret 2016

Umar bin al-Khattab, Takut Telantarkan Rakyatnya

Ada kelompok yang suka mencaci sahabat nabi, padahal nabi sudah berpesan untuk menghindari itu. Suka mencaci, juga bisa menjadikan seseorang menjadi bangkrut.

Bangkrut, bukan seseorang yang tidak punya harta. Akan tetapi, ketika di akhirat pahalanya habis, karena sibuk mencaci. Maka, sebaiknya berhenti mencaci, seperti dalam hadits berikut

Rasulullah SAW bersabda: 

"Takutlah kepada Allah terhadap para sahabatku, takutlah kepada Allah terhadap para sahabatku, janganlah kalian menjadikan mereka sebagai sasaran (cacian & cercaan) sepeninggalku, barangsiapa mencintai mereka maka dengan kecintaanku aku pun mencintai mereka (yang mencintai sahabat), & barangsiapa membenci mereka, 

maka dengan kebencianku aku pun membenci mereka (orang yang membenci para sahabat), & barangsiapaa menyakiti mereka berarti dia telah menyakitiku & barangsiapa yang menyakitiku berarti dia telah menyakiti Allah Tabaraka Wata'ala, & barangsiapa menyakiti Allah, maka hampir saja Allah menyiksanya." 

[HR Imam Ahmad #19641-haditsNet]

Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat: 

"Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?" 
Para sahabat menjawab; 
'Menurut kami, orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uang & harta kekayaan.' 

Rasulullah SAW bersabda: 

'Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, & zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, & makan harta orang lain serta membunuh & menyakiti orang lain. 

Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. 

Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.' [HR Imam Muslim #4678 haditsNet]

Kisah teladan sahabat nabi, penting untuk disampaikan dengan cara yang benar. Agar, dapat menjadi pelajaran bagi generasi penerus. Generasi jaman nabi, adalah generasi emas. Generasi terbaik menurut Rasulullah. 

Sudah sepantasnya, kita senantiasa membaca keagungan perjuangan para sahabat, ketika mendampingi nabi memperjuangkan Islam.

Berikut ini, kisah Umar bin Khattab.
Selamat membaca.

Menyebut nama Umar bin al-Khattab, nalar kita begitu reflek membayangkan sosok pemimpin yang tegas, adil, & karismatik. Ditambah perawakan Umar yang tinggi-besar & bersuara lantang. 

Menjadikan figurnya seolah-olah pemimpin di kisah-kisah dongeng yang begitu ideal. Ya, Umar memang seorang yang adil. Dia juga tegas. Dan dia berhasil memakmurkan rakyatnya.

Aahh.. kiranya Umar hadir di zaman sekarang.. seloroh sebagian orang sebagai keluh keputus-asaan akan sosok pemimpin idaman.

Kita bersyukur banyak kaum muslimin mencintai sosok Umar. Mereka mencintai sahabat Nabi yang mulia. Nomor dua kedudukannya jika dirunut bersama Abu Bakar r.a

Anas bin Malik r.a pernah berkata, 

“Aku mencintai Nabi, mencintai Abu Bakar, & mencintai Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka (di hari kiamat) lantaran kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.” (HR. Bukhari, No. 3688).

Selain dikenal tegas, Umar juga memiliki sifat lembut & kasih sayang kepada rakyatnya.

Umar Takut Menelantarkan Rakyatnya

Muawiyah bin Hudaij r.a datang menemui Umar setelah penaklukkan Iskandariyah. Lalu ia menderumkan hewan tunggangannya. Kemudian keluarlah seorang budak wanita. Budak itu melihat penat Umar setelah bersafar. 

Ia mengajaknya masuk. Menghidangkan roti, zaitun, & kurma untuk Umar. Umar pun menyantap hidangan tersebut. Kemudian berkata kepada Muawiyah, 

“Wahai Muawiyah, apa yang engkau katakan tadi ketika engkau mampir di masjid?” 

“Aku katakan bahwa Amirul Mukminin sedang tidur siang”, jawab Muawiyah. 

Umar berkata, 

“Buruk sekali apa yang engkau ucapkan & alangkah jeleknya apa yang engkau sangkakan. Kalau aku tidur di siang hari, maka aku menelantarkan rakyatku. 

Dan jika aku tidur di malam hari, aku menyia-nyiakan diriku sendiri (tidak shalat malam). Bagaimana bisa tertidur pada dua keadaan ini wahai Muawiyah?”1.

Mungkin Muawiyah bin Hudaij bermaksud kasihan kepada Umar. Ia ingin Umar beristirahat karena capek sehabis bersafar. Rakyat pun akan memaklumi keadaan itu & juga kasihan kepada pemimpinnya, sehingga mereka rela jika Umar beristirahat. 

Tetapi Umar sendiri malah khawatir kalau hal itu termasuk menghalangi rakyatnya untuk mengadukan keinginannya mereka kepadanya.

Umar berkata, 

“Jika ada seekor onta mati karena disia-siakan tidak terurus. Aku takut Allah memintai pertangung-jawaban kepadaku karena hal itu2.

Karena onta tersebut berada di wilayah kekuasaannya, Umar yakin ia bertanggung jawab atas keberlangsungan hidupnya. Ketika onta itu mati sia-sia; karena kelaparan, atau tertabrak kendaraan, atau terjerembab di jalanan karena fasilitas yang buruk, Umar khawatir Allah akan memintai pertanggung-jawaban kepadanya nanti di hari kiamat. 

Subhanallah… kalau rasa tanggung jawab kepada hewan pun sampai demikian, bagaimana kiranya kepada manusia? Semoga Allah meridhai & senantiasa merahmati Anda wahai Amirul Mukminin…

Pada saat haji terakhir yang ia tunaikan dalam hayatnya, Umar r.a duduk bersimpuh kemudian membentangkan rida’nya. Ia mengangkat tinggi kedua tangannya ke arah langit. Ia berucap, 

“Ya Allah.. sungguh usiaku telah menua & ragaku kian melemah, sementara rakyaku semakin banyak (karena wilayah Islam meluas pen.), cabutlah nyawaku dalam keadaan tidak disia-siakan.”3

Perhatian Terhadap Rakyat

Perhatian Umar terhadap rakyatnya benar-benar membuat kita kagum & namanya pun kian mengharum, mulia bagi mereka pembaca kisah kepemimpinannya. 

Doa-doa rahmat & ridha untuknya begitu deras mengalir. Siang-malam ia pantau keadaan rakyatnya. Ia benar-benar sadar kepemimpinan itu adalah melayani. Kepemimpinan bukan untuk menaikkan status sosial, menumpuk harta, yang akan menghasilkan kehinaan di akhirat semata.

Orang hari ini kenal belusukan sebagai ciri pimpinan peduli, Umar telah melakukannya sejak dulu dengan ketulusan hati. Ia duduk bersama rakyatnya, mengintipi keadaan mereka, & menanyai hajat kebutuhan. 

Kepada yang kecil atau yang besar. Kepada yang kaya atau yang miskin. Ia tidak pernah memberikan batas kepada mereka semua.

Abdullah bin Abbas r.a mengatakan, 

“Setiap kali shalat, Umar senantiasa duduk bersama rakyatnya. Siapa yang mengadukan suatu keperluan, maka ia segera meneliti keadaannya. 

Ia terbiasa duduk sehabis shalat subuh hingga matahari mulai naik, melihat keperluan rakyatnya. Setelah itu baru ia kembali ke rumah”.4

Sebagian rakyat ada yang merasa enggan mengadukan permasalahannya. Mereka segan karena betapa wibawanya Umar. 

Kemudian beberapa orang sahabat; Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, & Saad bin Abi Waqqash ingin memberi tahu Umar tentang hal ini. Dan majulah Abdurrahman bin Auf yang paling berani untuk membuka pembicaraan dengan Umar.

Serombongan sahabat ini berkata, 

“Bagaimana jika engkau (Abdurrahman) berbicara kepada Amirul Mukminin. Karena ada orang yang ingin dipenuhi kebutuhannya, namun segan untuk berbicara dengannya karena wibawanya. Sehingga ia pun pulang menahan keperluannya."

Abdurrahman pun menemui Umar & berbicara kepadanya. 

“Amirul Mukminin, bersikaplah lemah lebut kepada orang-orang. Karena ada orang yang hendak datang menemuimu, namun suara mereka untuk memberi tahu kebutuhan, tercekat oleh wibawamu. Mereka pun pulang & tidak berani bicara”, kata Abdurrahman.

Umar r.a menanggapi, 

“Wahai Abdurrahaman, aku bertanya kepadamu atas nama Allah, apakah Ali, Utsman, Thalhah, az-Zubair, & Saad yang memintamu untuk menyampaikan hal ini?” 

“Allahumma na’am”, jawab Abdurrahman.

“Wahai Abdurrahman, demi Allah, aku telah bersikap lemah lembut terhadap mereka sampai aku takut kepada Allah kalau berlebihan dalam hal ini. 

Aku juga bersikap tegas kepada mereka, sampai aku takut kepada Allah berlebihan dalam ketegasan. Lalu, bagaimana jalan keluarnya?” tanya Umar. 

Abdurrahman pun menangis. Lalu mengusapkan rida’nya menghapus titik air mata. Ia berucap, 

“Lancang sekali mereka. Lancang sekali mereka”.5

Adapun bagi masyarakat yang tinggal jauh dari Kota Madinah; seperti penduduk Irak, Syam, dll. Umar sering bertanya tentang keadaan mereka, kemudian memenuhi kebutuhan mereka. Umar mengirim utusannya untuk meneliti keadaan orang-orang di luar Madinah.

Terkadang, Umar juga mengadakan kunjungan langsung. Melihat sendiri keadaan rakyat di bawah kepengurusan gubernurnya. Umar memenuhi kebutuhan mereka dengan sungguh-sungguh. 

Sampai-sampai ia berkeinginan janda-janda yang tidak memiliki orang yang menanggung merasa cukup dengan bantuannya sehingga tidak butuh kepada laki-laki lainnya.6

Penutup

Inilah seorang pemimpin yang memerankan kepemimpinan dalam arti sebenarnya. Ia memberikan teladan dalam perkataan & perbuatan. Seorang yang shaleh secara pribadi & cakap dalam kepemimpinan.

Sesuatu yang perlu kita sadari, pemimpin adalah kader dari masyarakatnya. Umar bin al-Khattab adalah kader dari masyarakatnya. Dan setiap masyarakat akan mengkader pemimpin mereka sendiri. 

Masyarakat yang baik akan melahirkan kader yang baik, sehingga sekumpulan kader-kader yang baik ini akan menunjuk yang terbaik di antara mereka untuk memimpin mereka. 

Dan masyarakat yang jelek akan melahirkan kader yang serba kekurangan. Lalu mereka menunjuk pemimpin berdasarkan hawa nafsu & kepentingan.

Keterngan:
1. Az-Zuhd oleh Ahmad bin Hanbal, Hal: 152. Madar atsar ini adalah Ali Musa bin Ulya al-Lakhmi. Adz-Dzahabi mengomentarai bahwa dia orang yang tsabit dan shaleh (al-Kasysyaf, 2: 306). Menurut Ibnu Hajar shaduq walaupun mungkin keliru dan rijal yang lain pada riwayat Ahmad tsqat. Atsar ini hasan.
2. Ath-Thabaqat oleh Ibnu Saad, 3: 305. Mushannaf oleh Ibnu Abi Syaibah, 7: 99. Tarikh ath-Thabari, 2: 566. Tarikh Dimasyq oleh Ibnu Asakir, hal: 304. Atsar ini hasan li ghairihi karena banyak jalan yang menguatkannya.
3. Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa 21: 2, dll.
4. Ath-Thabaqat oleh Ibnu Saad, 3: 288. Tarikh ath-Thabari, 2: 565-566. Atsar ini hasan.
5. Ath-Thabaqat oleh Ibnu Saad, 3: 287. Tarikh ath-Thabari, 2: 568.  Dll. Atsar ini hasan.
6. Adabul Mufrad oleh Bukhari, Hal: 353. Dll. [KisahMuslimCom]

0 komentar:

Posting Komentar

hanya komentar yang baik, menyejukkan, mencerdaskan, menginspirasi