Selasa, 06 Maret 2012

Monica Oemardi : Akhirnya, ………


Journey to Islam Oleh : Redaksi 20 Dec 2005 - 8:31 am www.swaramuslim.net
Banyak Godaan Belajar Agama Islam
Aku sudah kerap melihat sahabatku Vinny Alvionita salat. Karena aku kerap ke kosnya, atau sebaliknya. Sampai aku hafal gerakannya. Meskipun begitu, melihat orang salat tak pernah sampai membuatku punya perasaan lain. Semua biasa saja. Sampai kejadian Februari
1997 itu, hal yang membuat aku heran, bagaimana bisa terjadi.

Waktu itu aku tengah syuting film Intrik. Kebetulan, aku sedang rehat bersama Vinny di tempat kos. Datang temanku, Dian, singgah menumpang salat. Melihat Dian salat, entah kenapa, tiba-tiba aku menoleh ke arah Vinny. ”Eh, Vin, ajarin aku Islam, dong.” Habis terucap begitu, aku rada heran juga, ini suara siapa? Kenapa sih, kok aku tiba-tiba berucap seperti itu? Soalnya nggak terpikir sebelumnya.

Vinny lebih terheran lagi. “Ah, yang bener,” katanya. Aku meyakinkannya benar-benar ingin tahu Islam. Dia memberiku buku karya Quraish Shihab, Lentera Hati. Dari sana aku mencoba memahami Islam. Sebuah buku yang enak dibaca. Cara Pak Quraish menjelaskan Islam sungguh menarik: bahwa Islam itu sederhana, tidak sulit.

Aku pun membeli buku Islam, selain sejumlah bacaan dari Vinny. Terutama buku-buku panduan beribadah: cara salat, cara berpuasa, apa pula artinya itu semua. Aku harus mencari tahu alasan yang kuat kenapa aku masuk Islam. Aku juga jadi rajin berdiskusi, menggali pengetahuan dasar Islam dari Vinny, dari orangtua Vinny, & ibu Dian. Setahun, Menimbang. Kalau ditelisik kondisi kejiwaanku saat itu, memang, mood-nya lagi acak-acakan.

Bayangkan, saat itu aku tengah siap-siap mengurusi perceraian. Mana anak yang dengan susah payah kukandung, diambil mantan suami, dibawa ke Brunei. Beberapa bulan aku tak melihat parasnya, tak mendengar tawa & tangis lucunya. Aku pun sudah lama pula nggak pernah ke gereja lagi. Karena deraan masalah itulah, mungkin, sifat manusiaku muncul ke permukaan. Kekecewaan, termasuk kepada Tuhan. Aku kecewa, kok makin rajin ke gereja, makin ada saja cobaan.

Aku sudah susah-susah hamil, begitu si anak gede diambil orang, kok Tuhan tidak berbuat apa-apa. Dalam kondisi jiwa rada amburadul begitu, Vinny-lah yang mendorongku agar kembali ke gereja.

Selama masa-masa kacau itu, aku menuruti nasihatnya kembali mendekat Tuhan. Kami sering bersama-sama membuka kitab suci masing-masing. Vinny Al-Quran, aku Alkitab. Vinny membawa tasbih, aku memutar rosario. Lantas membahas isi masing-masing kitab suci. Ah, isinya sama kok, pokok-pokoknya juga sama. Di Alkitab ada ayat tentang ini, di Al-Quran juga ada. Cuma, panjabarannya berbeda. Dari situ, aku mulai merasakan, Al-Quran lebih lengkap. Misalnya tuntunan bagaimana bersikap kepada ibu. Ada larangan menghardik ibu, kalau kita melakukan itu, terkutuklah kita.

Sebelum masuk Islam, buatku semua agama sama. Sebelumnya aku juga sempat belajar Buddha & Hindu, membanding-bandingkannya. Kupikir, Al-Quran sebagai kitab terakhir, karena disampaikan Nabi terakhir, tentu melengkapi yang lainnya, merangkum ajaran-ajaran sebelumnya. Jauh sebelum memutuskan masuk Islam, pengertian seperti ini sudah ada di kepalaku meskipun tidak sampai membuatku punya pikiran masuk Islam.

Sejak aku mengutarakan keinginanku mempelajari sampai aku berikrar masuk Islam, waktunya berselang setahun. Cukup lama memang, karena urusan pindah agama buatku soal yang serius, tidak seperti kita mau berganti pakaian. Jadi, aku mesti menemukan jawaban paling kuat, mengapa aku masuk Islam. Karena memang ini soal serius, aku mempelajarinya cukup lama, menimbang mencari sebab utama mengapa harus masuk Islam. Pikiran seperti inilah yang mendorongku serius mengenal apa itu Islam, meskipun baru sebatas pokok-pokoknya saja. Aku tetap sering berdialog dengan orangtua Vinny & Dian.

Semakin mempelajari Islam, aku makin tahu bahwa ibadah ritual Islam itu banyak. Sekilas, berat dilaksanakan, sebetulnya kalau dijalani sih tidak. Ada yang bilang salat 5 waktu berat. Ah tidak juga. Hanya berapa menit sih kita sisihkan waktu untuk salat, sedangkan buat nonton saja kita sanggup berjam-jam. Salat kan juga bisa dijamak & diqashar kalau kita sedang dalam perjalanan.

Ngerepek di Sajadah. Sebelum memutuskan Islam, rasanya setiap melihat teman yang salat, tebersit dalam pikiranku, orang ini kok suci banget. Kulihat kalau dia habis berwudu, wajahnya basah, ah, dia mau menghadap Yang di Atas, pakai berwudu dulu. Membersihkan fisiknya dari segala kotoran. Bagusjuga ajaran itu. Kita saja yang mau menemui si doi, tentu mandi dulu. Kalau bisa malah berkali-kali mandi & memakai wangi-wangian. Meski belum resmi Islam, aku sudah mulai salat. Bacaannya dihafal dari tulisan Latin atau mendengarkan kaset. Setiap salat, aku tenang, entah itu sehabis marah atau sedih. Ah, aku merasa cocok dengan ini.

Dalam hal ibadah, meskipun sudah belajar, tentu saja soal bacaan dalam salat misalnya, aku masih banyak yang belum hafal, kecuali surat Al-Fatihah & sedikit surat-surat pendek seperti An-Nas & Al-Ikhlas.

Makanya, karena banyak yang belum kuhafal, doa itu kutulis di selembar karton, ditulis gede-gede biar mudah terbaca. Kuletakkan di depanku, di sajadah. Jadi sambil salat, aku membacanya dengan melirik karton bertulisan bacaan salat.

Cara itu tetap kujalankan meski di masjid, misalnya di Al-Azhar, Kebayoran. Kalau ada yang melihat, kubilang, lagi belajar, mbak, sambil senyam-senyum. Kebetulan aku bersama kawan wartawan yang sedang meliput sebuah even. Lantas dia mengajakku, yuk salat. Aku pu masuk masjid, ya di Al-Azhar itu. Aku ke mana-mana, sebelum hafal, ya membawa krepekan.

Setahun proses itu berjalan, sampai aku merasa, ya Allah, aku sudah cocok di sini. Aku sendiri berusaha sedapat mungkin tak meninggalkan salat. Kalau syuting untuk film komedi sih, masih gampang menyisihkan waktu buat salat. Yang repot kalau sudah syuting film Misteri Gunung Lawu, aku sudah pakai konde tinggi, memasukkan kepala ke mukena susah sekali. Paling, salat asarnya lewat. Tetapi aku mengusahakan setiap hari, tetap salat.

Keagamaan dalam Keluarga. Ayahku mantan atase militer di Cheko, seorang muslim Jawa yang menikahi perempuan Kristen berkebangsaan Cheko. Dari rahimnya, lahir aku & adikku. Bagi kami kakak-beradik, Papa-Mama tak pernah menyuruh anaknya harus memilih apa, menjadi muslim seperti Papa, atau Kristen seperti Mama. Ini karena mereka berdua terikat perjanjian saat menikah bahwa masing-masing tidak akan mengajak anaknya ikut agama mereka.

Karena kesepakatan itulah, baik ayah maupun ibu tak banyak mengajarkan agama. Aku sendiri pemeluk Kristen seperti ibu. Adik juga. Ibu masih terlihat punya gairah menyambut Natal, atau ke gereja. Soal keislaman ayah, aku hanya melihatnya sejak aku kecil, ayah berpuasa di bulan Ramadan. Tetapi tidak melihatnya salat 5 waktu.Aku dulu suka ikut berpuasa. Dasarnya sih waktu itu kasihan ayah, dia bangun malam, sahur sendirian, buka sendirian. Aku suka menemani, meskipun waktu itu tanpa niatan seperti seorang Islam yang puasa. Jadi soal puasa, buatku bukan soal yang sulit.

Sudah mempelajari Islam, kebetulan masuk bulan puasa, aku berpuasa beneran. Sekalian niat seperti muslim berpuasa. Di rumah, aku berbuka puasa sendiri saja, makan sahurnya pun sendiri. Ayah sudah tidak berpuasa 3 tahun terakhir ini. Entah kenapa. Selama belajar Islam itu aku kos, sejak Februari 1997. Bulan Oktober aku balik ke rumah orangtuaku. Sejauh itu, selama proses belajar Islam itu, orangtuaku belum tahu.

Syahadat Sekarang Saja. mengakhiri tahun 1997, menjelang tahun baru, kebetulan sekali aku & Vinny sama-sama bokek. So? Kami berencana masak-masak sendiri. Lantas kami meluncur ke kawasan Kuningan, belanja. Kami bersua seorang wartawan media hiburan. Dia tahu aku sedang mempelajari & bersiap masuk Islam. Dia memberi tahu, malam nanti ada acara buka puasa di rumah Pak Rahmat Gobel. “Dan yang ceramah, Pak Quraish Shihab lho.” Dia tahu aku ngefans Quraish Shihab. Aku ditanya, mau datang apa nggak?

Sontak aku bilang, “Mau, mau dong.”

Jadilah malam itu aku & Vinny ikut acara buka puasa. Kawan wartawan tadi rupanya juga sudah memberi tahu Pak Quraish bahwa ada temannya mau datang & sedang bersiap untuk masuk Islam. Ketika aku dipertemukan, beliau tidak pakai basa-basi. ”Saya dengar Anda mau masuk Islam, kapan?” tanyanya.
“Nanti, tanggal 8 Januari,” jawabku. Alasanku, itu hari Jumat & masih bulan Ramadan, kata orang-orang, bagus.
“Kalau sudah punya niat & sudah yakin, kenapa pakai nunggu lama-lama. Segerakan saja.”
“Apa Bapak bersedia mengislamkan saya?’
“Oh, iya. Saya bersedia.”

Malam itu juga diislamkan. Aku sendiri sudah lama tahu, yang namanya bacaan 2 kalimat syahadat itu apa. Jadi, saat mengucapkannya semua berjalan lancar. Tetapi perasaanku sulit dilukiskan. Ada butiran bening, hangat, keluar dari kedua mataku. Pipiku agak basah. Ada perasaan lain tatkala aku bersyahadat itu. Apalagi, hal itu disaksikan banyak orang. Aku sadar betul, ini pilihan yang serius yang mengubah hidupku.

Alhamdulillah, semua berjalan lancar sampai hari ini.

Mama Kecewa. Tatkala aku sedang bersiap hijrah ke Islam, kebetulan kan menjelang Christmas, hari Natal. Ibu sedang sibuk banget dalam keceriaan menyambut malam Natal. Vinny sempat bertanya, “Lu udah ngomong ama nyokap lu? (Kamu sudah bicara dengan ibu kamu?)” Aduh, gimana ngomongnya? Mama sendiri, ketemu aku, paling mengingatkan, eh ayo, besok kamu beli kado ini, buat Natal. Saat itulah muncul sedikit guilty feeling. Aku yakin kalau ibu tahu yang sebenarnya, ia akan kecewa. Aku sendiri tak menemukan satu cara pun buat menyampaikan keputusanku.

Sampai suatu hari datang juga jalan keluarnya. Di luar perencanaanku. Aku ditelepon sebuah tabloid, rupanya dia dapat bocoran aku tengah mempelajari & mau masuk Islam. Mereka mau menjadi yang pertama memberitakan ini. Aku diminta sebuah pemotretan gambar sampul tabloid itu, berbusana muslimah lengkap dengan kerudung segala. Begitu tabloid itu keluar sebelum Natal, ibu marah-marah. Aku diacuhkan berhari-hari. Tapi lama-lama, biasa saja.

Kepindahanku ke Islam, dalam keluarga akhirnya tak menjadi soal. Kami amat demokratis termasuk urusan memilih keyakinan. Mau main film saja, aku tak dilarang karena orangtua percaya anaknya memilih sesuatu yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Seburuk-buruknya akibat pilihan kita, kitalah yang bakal menanggungnya, kan?
Berkah Lebaran.
Siang itu, tanggal 2 Syawal, setahun silam. Aku sedang belanja ke Kemchik Kemang (Jakarta Selatan). Baru saja aku memarkir mobil & mau turun, serasa ada sekelebatan bayangan anakku. Alam sadarku bilang itu memang cuma bayangan. Tetapi feeling-ku bicara, ah, anakku lagi di Jakarta. Kebetulan saat itu rumah mantan suamiku di dekat Kemchik. Aku telepon rumah (mantan) mertua. Kutanya, apakah anakku ada di sana.

Alhamdulillah, benar, anakku ada. Hari itu juga kutemui dia. Usianya kini sudah 3,5 tahun.

Aku anggap pertemuan itu berkah Lebaran, hadiah Tuhan. Sebab, sejak bercerai sampai aku gandrung belajar Islam, sudah sepuluh bulan aku tak bersua dengan anakku. Aku hanyut dalam salat. Saat salat aku selalu berdoa, Tuhan, aku ingin bertemu anakku. Aku merindukannya. Beberapa kali hal itu kupinta kepada-Nya.

Akhirnya, Tuhan mengabulkan permintaanku itu.

Benar, lho, salat memberiku perasaan tenang. Terutama salat malam. Kejadian pada hari kedua Lebaran itu membuatku berkesimpulan, kalau kita minta apa saja, langsung kepada Yang di Atas. Insya Allah dikabulkan. Seperti ketika Ia mengabulkan keinginanku bersua dengan anakku.
Sekilas, Si Indo-Cheko
Monica Oemardi, anak sulung 2 bersaudara pasangan pria Jawa, Kolonel (Purn.) Oemardi, mantan atase militer di Cheko dengan Vera, perempuan berkebangsaan Cheko. Mengawali karier di film sejak 1990, setelah terpilih sebagai gadis sampul Gadis, 1988. Film pertamanya, Pendekar Cabe Rawit. Sampai sekarang, perempuan yang lahir di Jakarta 16 Juni 1974 ini, telah main di 3 sinema layar lebar & 8 sinetron (antara lain Delima, Intrik, Tahta). Sekarang, tengah terlibat dalam proses produksi film drama komedi versi VCD bersama kelompok Warkop.

Monica, menyelesaikan SD sampai SLTA-nya di Jakarta. Sempat menekuni Manajemen Angkutan Udara di Universitas Trisakti, Jakarta, tetapi hanya sampai semester 7, berhenti keburu menikah. Hobi berkuda. Semasa kanak-kanak pernah merawat sendiri kuda pacunya.

ARSIP DARI
PENGALAMAN RELIGIUS / PANJI NO. 21 TAHUN III. 8 SEPTEMBER 1999

0 komentar:

Posting Komentar

hanya komentar yang baik, menyejukkan, mencerdaskan, menginspirasi